Saturday 27 December 2014

UNSUR-UNSUR DARI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata, maka suatu perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Adanya suatu perbuatan.
2.      Perbuatan tersebut melawan hukum.
3.      Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4.      Adanya kerugian bagi korban.
5.      Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.      Adanya Suatu Perbuatan
      Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari suatu kontrak). Karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.
2.      Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
       Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukm ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.      Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau
c.       Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
d.      Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden), atau
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaarnt ten aanzien van anders persoon of goed).

3.      Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
       Agar dapat dikenakan Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum tersebut, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar dapat pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Karena itu, tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan kepada Pasal 1365 KUH Perdata. Jikapun dalam hal tertentu diberlakukan tanggung jawab tanpa kesalahan tersebut (strict liability), hal tersebut tidaklah didasari atas Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi didasarkan kepada undang-undang lain.
Karena Pasal 1365 KUH Perdata mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui bagaimanakah cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Adanya unsur kesengajaan, atau
b.      Adanya unsur kelalaian (negligence, culpa), dan
c.   Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.
Timbul pertanyaan dalam hal ini, yakni apakah perlu dipersyaratkan unsur “kesalahan” di samping unsur “melawan hukum” dalam suatu perbuatan melawan hukum” saja. Untuk menjawab pertanyaan ini, berkembang 3(tiga) aliran sebagai berikut:
a.       Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melawan hukum saja
Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melawan hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Oven.
b.      Aliran yang menyatakan cukuo hanya unsur kesalahan saja
Sebaliknya, aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mecakup juga unsur perbuatan melawan hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum” terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Van Goudever.
c.       Aliran yang menyatakan diperlukan, baik unsur melawan hukum maupun unsur kesalahan
Aliran ketiga ini mengajarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum mesti mensyaratkan unsur melawan hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melawan hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut misalnya oleh Meyers.
Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan hukum, baik kesalahan dalam arti “kesalahan hukum” maupun “kesalahan sosial”. Dalam hal ini hukum menafsirkan kesalahan sebagai suatu kegagalan seseorang untuk hidup dengan sikap yang ideal, yakni sikap yang biasa dan normal dalam suatu pergaulan masyarakat. Sikap yang demikian kemudian mengkristal dalam istilah hukum yang disebut dengan standar “manusia yang normal dan wajar” (reasonable man).
4.      Adanya Kerugian Bagi Korban
     Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurispruensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang.
5.      Adanya Hubungan Kausal antara Perbuatan dengan Kerugian
      Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum.
Untuk hubungan sebab akibat ada 2(dua) macam teori, yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.

       Selanjutnya, agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep “sebab kira-kira”, (proximate cause). Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang, untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

No comments:

Post a Comment